Makassar, Minggu 7 Desember 2014, sejak pagi hari hingga sore ini hujan masih setia menyiram bumi, dan memberikan kesejukan  pada udara  yang  menghadirkan suasana kerinduan akan kebersamaan sebuah keluarga. Sejuknya udara membuat saya dan kedua putraku semakin betah berada diruang keluarga (kebetulan lagi rindu kebersamaan he..he..he).  Sambil menemani bermain, saya juga memanfaatkan kesempatan ini untuk bercakap-cakap ringan dengan mereka, sekedar  untuk tahu apa yang mereka lakukan selama satu minggu ini disekolahnya. Mulai dari permasalahan belajar atau pekerjaan rumah, hubungan dengan  guru, dan hubungan dengan  teman-teman mereka. 

Saat seperti ini menurut saya paling tepat  untuk mengetahui dan mengikuti perkembangan anak-anak saya. Secara spontan dan kadang-kadang antusias pula mereka juga  menceritakan aktivitasnya tanpa ada beban.  Aku tercegang ketika mendengar cerita anakku kalau ayah salah seorang  teman  sekolahnya datang kesekolah sambil marah-marah kesalah satu guru disekolah karena anaknya diperlakukan secara kasar oleh oknum guru disekolahnya. Saat itu yang timbul dalam fikiranku adalah apakah jika anakku berlaku sedikit menyimpang disekolahnya juga akan diperlakukan sama oleh gurunya?, Sepengetahuan saya guru itu seorang pendidik yang bertugas mengarahkan anak yang tidak tahu menjadi tahu dan membuat anak yang “nakal” menjadi lebih baik prilakunya dengan mengajarkan nilai-nilai baik serta memberikan tauladan yang baik pula (aku membatin dan menghela nafas). Sementara membatin aku dikejutkan oleh suara seorang anakku yang memanggilku karena melihat aku diam dan tidak memberikan respon terhadap ceritanya mengenai temannya tersebut. 

Masih berfikir persoalan tadi aku berusaha juga untuk kembali mengobrol dan sesekali memberikan komentar terhadap permainan game online yang sementara dia mainkan di komputer,  sambil berkomentar aku juga disibukkan dengan laptop di depanku  (maklum hoby searching) secara kebetulan mataku melihat sebuah artikel yang ditulis oleh bapak Joko Wahyono  pada kompasiana.com  tertanggal 3 Desember 2014. Tulisan yang berlatar belakang edukasi yang menceritakan tentang fenomena dunia pendidikan saat ini utamanya pendidikan tingkat menengah. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk menshare dengan cara mempublikasikannya kembali lewat Blog saya yang notabene disukai oleh remaja yang berstatus pelajar tingkat menengah dan mahasiswa tersebut.

Anak Didik Ketagihan Sekolah Bila Guru dan Lingkungan Sekolah Ramah Anak, demikian judul artikelnya Dalam tulisannya Pak Joko Wahyono mengutip perkataan bapak Anies Baswedan yang mengatakan bahwa “Pendidikan di Indonesia harus membuat anak didik ketagihan sekolah, ingin belajar” pada sebuah pertemuan antara Menteri Pendidikan dengan Kepala Dinas Pendidikan Se-Indonesia.

Menurut pak Joko Wahyono, Imbauan pak Anies sangatlah beralasan, melihat kondisi sekolah yang bukan lagi dianggap tempat yang aman dan nyaman bagi para siswa di sekolah. Rentetan kasus kekerasan di sekolah mewarnai pemberitaan media kita. Simak saja berita berita kekerasan yang menyesakkan dada ini. Anak kelas 1 SD dikeroyok temannya hingga buta, siswa SMA dikeroyok hingga tewas, dan munculnya video heboh tentang seorang siswi di Sumatera Barat dihajar dan ditendangi teman teman sekelasnya serta kejahatan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah. Kekerasan di sekolah tidak saja dilakukan oleh sesama murid, ironisnya dilakukan oleh guru gurunya. Lihat berita ini, “Tak Ikut Upacara, Siswa SMP dilempar tempat sampah oleh gurunya”, “Lagi Pinjam Spidol, siswa SMP babak belur dianiaya guru agama” dan sebuah video di Papua yang menayangkan seorang guru SMK dengan rokok dibibirnya, berkali kali menampar siswanya.

 

Bagaimana kita bisa berharap anak didik mau betah dan ketagihan di sekolah bila peristiwa di atas terus mengancam mereka?. mungkin diantara kita menjawab, itu hanya kasus beberapa anak saja atau dengan kalimat menghibur diri, itu hanya ulah segelintir oknum guru saja, jangan digeneralisir.

Hasil survei yang dilakukan UNICEF pada 2006 di 3 propinsi di Indonesia yaitu di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah menyatakan bahwa, sebanyak 90 persen guru di Indonesia menghukum dengan cara menyetrap dan  membentak, sedangkan 47 persen menghukum murid membersihkan WC.

Pada suatu kesempatan memberikan Pelatihan Smart Teaching di kota Medan, Sumatera utara dan di kota Makasar Sulawesi Selatan, pak Joko menunjukkan hasil survei di atas. Seorang guru di Medan memberi tanggapan, ”Ah, kalau cuma dibentak dan disetrap tak seberapa itu Pak, Anak Medan kalau tidak ditampar, tak mau nurut dia” tanggapan guru tersebut direspons dengan tepuk tangan 400 an guru peserta pelatihan tersebut. Di Makassar juga senada, guru-guru beranggapan budaya keras harus dilawan dengan keras pula, kalau tidak, guru tidak berwibawa.

Perlunya Sekolah RAMAH ANAK

Betulkah kekerasan harus dilawan dengan kekerasan? Apakah api harus dilawan dengan api? Tentu tidak, memadamkan api harus dengan air. Begitu juga menghadapi anak yang keras harus dilawan dengan memberi lebih banyak perhatian, komunikasi yang baik, dan strategi ramah anak berikut : 

1. Ramah Perhatian

Guru terlalu sibuk dengan urusan administrasi KBM, menyiapkan dokumen sertifikasi daripada sibuk memberi perhatian kepada siswanya. Setidaknya ada 27 perangkat administrasi yang membebani guru, mulai dari membuat program tahunan, program semester, RPP, Rencana Pelaksanaan Harian, Presensi Siswa, Catatan Hambatan Belajar Siswa, Analisis KKM, dan lain lain. Lalu, kapan waktunya untuk memberi perhatian kepada murid-muridnya. Dalam memberi perhatian kepada muridnya, guru harus hadir tidak hanya fisiknya, namun seluruh pikirannya harus dicurahkan untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki anak didiknya.

Seorang guru terus menerus harus meningkatkan cara untuk menarik perhatian siswa. Menjalin komunikasi yang persuatif, menggunakan bahasa proaktif dan bukan bahasa reaktif, serta mengetahui lebih jauh tentang cara-cara menyampaikan pelajaran dengan efektif dan atraktif adalah bagian pendekatan yang perlu dilakukan guru. Peter Hook & AndyVass seorang psikolog berpengalaman mengatakan bahwa guru yang efektif harus memahami bahwa mereka tidak dapat mengendalikan perilaku anak, namun mereka dapat berusaha mempengaruhi perilaku anak dengan cara cara berikut ini ; (1) Membangun hubungan yang positif, (2) Menetapkan agenda yang jelas, (3)Menetapkan ekspektasi yang tinggi, dan (4) Bersikap konsisten. 

Mereka juga sadar bahwa ketika pengaruh tersebut suatu kali gagal, mereka dapat mengelola pilihan yang dapat dibuat muridnya. Mereka melakukan dengan menjelaskan konsekuensi logis dari setiap pilihan. 

2. Ramah Psikologis

Pernahkah guru memergoki murid berbuat baik?. Seringkali tanpa disadari cara guru memperlakukan muridnya sangat tidak adil. Setiap masuk sekolah, guru hanya sibuk menghukum murid-murid yang terlambat, yang berpakaian tidak rapi dan mencari kesalahan murid dengan alasan menegakkan tata tertib. Jarang sekali guru memberi reward kepada murid yang rajin, yang datang lebih awal ke sekolah dan mengerjakan pekerjaan membersihkan kelasnya.

Respon guru bila melihat kebaikan murid atau siswanya, menunggu pada saat penilaian akhir semester, sementara responnya cepat dan tanggap bila melihat kesalahan murid. Sehingga timbul kesan, bahwa kebanyakan guru lebih suka menghukum daripada memuji.

Hukuman memang perlu dilakukan agar peraturan dapat ditegakkan. Namun, sebelum hukuman dijatuhkan, sudahkah guru berupaya optimal seperti misalnya memberikan contoh yang baik untuk selalu tepat waktu dalam mengajar di kelas, memberi arahan dan nasihat yang ikhlas, membiasakan bertutur kata yang baik, dan menghargai setiap kebajikan yang dilakukan murid atau siswa serta konsisten terhadap peraturan yang disepakati.

Alangkah baiknya, bila guru lebih banyak memuji muridnya, sebab pujian adalah sebuah penghargaan, dan setiap orang membutuhkan rasa untuk dihargai. Ada beberapa manfaat yang bisa didapat dengan memberikan pujian: (1) Untuk menunjukkan penghargaan atas upaya mereka (2) Untuk memastikan bahwa upaya yang baik ini terus berulang. (3) Untuk membangun hubungan yang lebih dekat dan komunikasi yang lebih positif, dan (4) Untuk memberikan contoh pada yang lain agar mengikuti perilaku yang baik

Guru yang ramah psikologi adalah guru yang dapat bersikap assertif, yaitu guru yang dapat mengkomunikasikan sesuatu pada suasana saling percaya. Konflik yang muncul dihadapi dan solusi dicari yang menguntungkan semua pihak. Individu yang asertif memulai komunikasi dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat menyampaikan kepedulian dan rasa penghargaan mereka terhadap orang lain. Perilaku asertif mengharuskan kita untuk menghormati orang lain sebagaimana kita menghormati diri sendiri.

3. Lingkungan Ramah Anak

Untuk alasan keamanan, banyak gedung sekolah yang kita lihat dibuat dari bahan besi keliling sekolah, pintu masuk dengan pagar jeruji besi, warna dinding agak kusam, penjagaan super ketat, ada guru piket yang siap mengintai gerak gerik siswa (sekarang pakai CCTV), ada satpam yang berwajah seram dengan membawa pentungan. Lalu, apa bedanya antara sekolah dan penjara. Jawaban hampir tidak ada bedanya, kalau penjara adalah tempat tahanan para naradipada criminal dan sekolah adalah tempat penjaranya generasi harapan bangsa.

Fenomena ini terlihat pada saat para murid meluapkan kegembiraannnya ketika mereka lulus sekolah, mereka konvoi di jalan, hura-hura dan merayakan kebebasan mereka dari penjara yang mengekang kehidupan mereka selama ini. Kenapa murid kita diperlakukan seperti nara pidana? Bagaimana murid bisa betah dan ketagihan di sekolah bila suasana lingkungan sekolah seperti penjara. Tidak ada tempat anak untuk mengembangkan bakatnya, tidak ada tempat untuk berekspresi dan tidak ada pula tempat hanya sebuah taman untuk bercengkrama.

Sekolah dengan lingkungan yang ramah anak adalah sekolah yang secara fisik dapat memberikan ruang ekspresi murid untuk mengembangkan bakatnya, dan secara psikis terciptanya suasana yang kondusif, saling mendukung dan menghargai, saling berempati, dan membuka ruang persahabatan yang baik. Sehingga membuat semua warga sekolah dapat hidup aman, nyaman dan bahagia berada di lingkungan sekolah.

Sumber :
kompasiana.com
Albert Enstein dan Gede Prama adalah dua dari beberapa guru kehidupan yang bisa kita jadikan inspirasi pembangkit motivasi. Sesuatu yang mereka katakan pasti sarat akan makna untuk pembelajaran di dunia yang katanya sebagai tempat mampir untuk ngombe ini. Kata-kata bijak Gede Prama & Albert Einstein pastinya disarikan dari pemikiran dan perenungan terhadap apa-apa yang sudah mereka alami dalam hidup dan kehidupan. So tidak cukup kuat alasan buat kita menolak apa-apa yang dikatakan Gede Prama dan Albert Einstein.

Melalui artikel bijak menurut Albert Einstein dan Gede Prama ini saya ingin sedikit membahas tentang dua buah kata bijak dari kedua orang luar biasa ini. yang pertama Albert Einstein pernah mengatakan : ‘Tidak semua yang dapat dihitung itu diperhitungkan & tidak semua yang diperhitungkan itu dapat dihitung’. Lalu pada kesempatan lain saya pernah membaca artikel Gede Prama dia berkata : ‘Tidak semua hal bisa dipikir & dilakukan manusia’. Dalam kehidupan, ada yang bisa dicapai, ada yang hanya layak disyukuri. Ada wilayah kehidupan yang bisa digedor dengan kerja dan usaha. Ada wilayah kehidupan yang hanya menjadi milik misteri.

Bijak ala Albert Einstein
Menarik menyimak apa yang dikatakan Albert Einstein, memang benar tidak semua yang dapat dihitung itu diperhitungkan & tidak semua yang diperhitungkan itu dapat dihitung. Pernah sekali waktu dalam hidup saya mengambil suatu tindakan yang secara kalkulasi rasional tidak diperhitungkan. Karena memang kalau dihitung-hitung tindakannya tidak bakal membuat saya diperhitungkan. Banyak orang juga menyarankan saya untuk tidak mengambil tindakan itu. Tapi karena keyakinan saya cukup kuat meski tidak bisa di jelaskan secara rasional saya tetap berjalan. Dan pada akhirnya hasil yang didapat membuat saya diperhitungkan. Tapi anehnya ketika semua bisa saya hitung malah hasil yang saya dapat justru membuat saya tidak diperhitungkan.

So, jika apa yang anda lakukan saat ini tidak dilirik atau diperhitungkan orang, janganlah berkecil hati. Karena sesuatu yang luar biasa itu sering kali tidak diperhitungkan di awal-awalnya!

Bijak ala Gede Prama
Orang-orang muda biasa bersemangat dan berapi-api. Berbagai kegiatan bertenaga seperti sekolah, kursus, aktivitas organisasi, seminar ini dan pelatihan itu semunya diikuti. Inti dari semua itu adalah apa yang bisa dilakukan dan dicapai orang lain kita pun bisa. Tidak ada yang tidak bisa. Hal ini menurut Gede Prama menyebabkan para motivator mendorong banyak orang agar cepat kaya. Bahkan Anthony Robbin dalam bukunya Awakening The Giant Within mensejajarkan manusia dengan raksasa. Membangun potensi luar biasa (raksasa) yang ada dalam diri.

Untuk orang-orang yang berjalan di jalan ini tidak ada yang salah memang. Karena hidup adalah pilihan-pilihan. Benar dan salah adalah relatif. Orang dijalan ini meyakini lebih tinggi kehidupan maka akan lebih baik. Dan mereka yang menua dengan bijaksana tentu tersenyum penuh pengertian.

Menggali potensi luar biasa dalam diri dimasa muda tentu baik. Tapi menganggap semua hal yang bisa dilakukan orang lain bisa juga kita lakukan, saya pikir bukanlah tindakan yang bijak. Optimisme yang tinggi bisa membuatnya sulit dibedakan dengan kesombongan. Nah jika kesombongan sudah mulai merapat, maka segeralah bersiap-siap.

Bukankah suatu kesombongan apabila kita menganggap semua bisa kita lakukan. Sehingga tak jarang membuat kita lupa akan kekuatan lain yang justru amat menentukan. Ingat ini dunia dualitas, segala sesuatunya diciptakan berpasang-pasangan. Jika ada yang bisa, pasti ada yang tidak bisa. Ini mengisyaratkan kita untuk selalu berhati-hati dan tetap rendah hati.

Sumber :

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.